Dia kini tak
seperti dulu lagi, yang hanya bisa diam dan diam. Kini dia tumbuh menjadi
seorang wanita yang lebih berani, berani dalam menegakkan apa yang ia rasa
benar. Dia bukan lagi gadis kecil yang selalu bergantung dengan orang lain,
kini dia telah menjelma menjadi seorang wanita muslimah yang mandiri dan
berjalan tegak menyusuri jalan dakwah.
“Nduk, mau
kemana lagi? Kamu kan baru pulang to, gak capek?”
“Inggih bu,
ini ada pertemuan untuk program kerja di kampus bulan depan, insya ALLAH
jam 9 baru selesai.” Jawab Vara seraya mencium tangan ibunya.
Segera dia
meluncur dengan motor kesayangannya menuju masjid “ Baitul Izza” , setiba
disana ternyata beberapa rekannya sudah tampak berkumpul.
“Vara,
proposal bazarnya udah siap kan?” Tanya Dina salah seorang seniornya yang
menjadi ketua panitia pada acara bazar bulan depan, sambil mendekat dan
menjabat erat tangan Vara.
“Ouh, sudah
kok mbak, tapi masih dalam bentuk file, belum sempat ngeprint.”
“Hmm, ya
udah gak papa, yang penting nanti bisa di presentasikan. Ayo segera kita mulai
aja acaranya.”
“Sip, Lets
Go. Jawab Vara sambil berjalan mengikuti Dina.
Vara masih
terhitung sebagai junior alias pemula, namun karena semangat dan kesungguhannya
dia dipercaya untuk menjadi sekretaris KARISMA pada periode ini. KARISMA adalah
suatu komunitas para remaja muslim di daerah Jakarta. Vara mulai membuka
laptopnya, dan bersiap mempresentasikan proposal yang telah dibuatnya kepada
para pengurus yang lain. Varadista yang sekarang bukanlah seperti 4 tahun yang
lalu, kini dia tidak merasa canggung dan gugup lagi jika berbicara di hadapan
umum, rasa percaya dirinya mulai berkembang seiring berjalannya waktu, di
sertai berbagai usaha yang dia lakukan dalam memperdalam ilmunya. Khususnya
ilmu mengendalikan ke-nervous-an.
Ketika Vara
hendak menyalakan motornya, seseorang mendekat dan menegurnya,
“Var, besok
aku tugasin meliput ya, bisa to?”
“Ouh mas
Ezha,ngagetin aja, meliput acara apa mas? Jawab Vara seraya membuka kaca helm.
“Nih ada
acara seminar ibu-ibu, di daerah Keputih. Jam 3 sore.”
“Ouh insya
Allah, aku usahain ya, mungkin habis dari kampus langsung kesana. Mas ikut juga
kan?
“Wah,
masalahnya ya itu. Besok aku ada urusan penting. Urusan masa depan.” Kata Ezha
dengan tersenyum lebar.
“Hayo urusan
apa to? ya udah deh mas, aku pulang dulu ya, udah malam. Assalamualaikum.
“Oke,
walaikumsalam, kamu memang selalu bisa mas andalkan. Hati-hati ya.”
Vara hanya
bisa tersenyum mendengar pujian dari Ezha.Ezha, lelaki yang mengubah jalan
hidupnya sejak 4 tahun lalu, yang selalu memberi semangat saat dia terpuruk,
mengingatkan saat dia lalai, dan menempati tempat paling istimewa di hati Vara.
Dan selama beberapa tahun ini Vara hanya bisa menyimpannya dalam hati, berharap
Allah akan memberikan rencana terindah untuknya dan Ezha.
Esok hari
selepas menyelesaikan semua kegiatan kuliah di kampus , Vara segera menjalankan
tugasnya sebagai seorang jurnalis, sesuai dengan perintah dari atasannya yang
tak lain adalah Ezha, dia mengikuti acara seminar ibu-ibu itu dari awal sampai
akhir, tak lupa juga mendokumentasikannya melalui kamera digital yang baru di
belinya seminggu yang lalu. Seusai acara, tanpa sengaja Vara mendengar obrolan
ibu-ibu mengenai Madina, yang merupakan seniornya di KARISMA, bersumber dari
seorang ibu, Madina akan segera menikah bulan depan.
“Hmm, siapa
ya calonnya mbak Dina? jadi penasaran.” Ucap Vara dalam hati
Beberapa
hari setelah meliput acara seminar, Vara bermaksud mendatangi Ezha untuk
menyerahkan hasil jepretannya, namun saat itu dari kejauhan Vara melihat Ezha
sedang berbincang dengan Madina. Dalam hati Vara timbul suatu keanehan, namun
segera ditepisnya, “ah mungkin Cuma ngomongin masalah kegiatan bazar.” Vara
memutuskan menemui Ezha setelah Madina pergi.
“Assalamualaikum
mas,ini foto-foto pas seminar ibu-ibu kemarin.”
“Ouh, sip.
Alhamdulillahi Jaza Killauhu Khoiroh, ya Vara. Jawab Ezha sambil menerima
flashdisk dari Vara.
“Iya, Amin.”
“Eh ya Var,
ini untuk kamu.” Ezha mengangsurkan sebuah undangan ke arah Vara. “Doain semoga
lancar dan barokah ya.”
Vara sangat
terkejut ketika membaca undangan yang bertuliskan “Syahrezha Maulana
& Madina Aulia” di tangannya. Rasanya seperti ada petir yang
menyambar di siang bolong, matanya mulai terasa panas, sepertinya air mata akan
mengalir deras pada detik berikutnya.
“Ouh, iya
mas, aku doain semoga lancar dan barokah. Maaf aku harus segera pergi.
Alhamdulillahi Jazakallauhu Khoiroh. Assalamualaikum” dengan setengah berlari
Vara meninggalkan Ezha yang sedikit kebingungan dengan tingkahnya, dia tak kan
kuat berada di hadapan Ezha lagi. Hatinya remuk redam, dan sangat kecewa. Ezha
yang menjadi bayang-bayang indahnya selama 4 tahun ini, sudah tak kan mungkin
digapainya. Beberapa hari lagi Vara akan melihat Ezha bersanding dengan Madina,
temannya sendiri.
“Humff, memang mbak Dina jauh lebih baik daripada aku, mas
Ezha lebih pantas dengannya.” Gumaman hatinya itu membuatnya semakin terluka.
Vara mulai
menguatkan hati agar bisa menerima kenyataan pahit itu, melihat Ezha telah
menggandeng wanita pilihannya. Mencoba tersenyum saat bertemu dengan pasangan
baru itu, dan mulai menghapus Ezha dari hatinya. Sampai pada suatu hari ketika
Vara sedang bersantai di teras masjid, seseorang menghampirinya.
“Assalamualaikum,
Vara ini untuk kamu. Tolong baca dan segera berikan jawabannya.Aku pamit.
Assalamualaikum.” Hanya sepenggal kata itu yang Vara dengar dari bibir Chandra,
dan diapun segera berlalu sebelum Vara sempat berkata apa-apa. Chandra adalah
kakak Madina, dia juga merupakan salah seorang pengurus KARISMA Kepribadiannya
yang tak banyak bicara namun tegas dalam bersikap membuat Vara segan kepadanya.
Sesampainya
di rumah, Vara membuka surat dari Chandra siang itu. Dan dia begitu terkejut,
ternyata itu berisikan perasaan dari Chandra yang menginginkannya untuk menjadi
istrinya. Vara sangat kebingungan, semalaman dia tak bisa tidur maka diputuskan
untuk bermunajat kepada-Nya. Seusai sholat istikharah, Vara memilih untuk tidur
kepalanya terasa berat sekali. Dalam tidurnya dia bermimpi berada di suatu
padang rumput yang hijau, dari kejauhan dia melihat seorang laki-laki memakai
kemeja putih yang berjalan mendekatinya, dan saat itu dia tahu lelaki itu
adalah Chandra. Lalu Chandra berucap “Semoga Allah menyatukan kita di surga-Nya
kelak” dia tersenyum, seraya berbalik dan berjalan menjauh.
Vara
terbangun dengan keringat menetes di dahinya, akhirnya dia yakin bahwa memang
Chandra lah yang di kirim Allah untuk mendampinginya.
“ Vara, ada
telepon dari Ezha.” Suara ibunya memecahkan lamunan Vara.
“Iya, halo
Assalamualaikum, ada apa mas?”
“Vara,
Chandra mengalami kecelakaan tadi malam, dan beberapa menit lalu dia meninggal
di rumah sakit.”
Vara tak
kuasa lagi mendengar ucapan Ezha, ketika dia baru saja yakin bahwa Chandra
adalah pemimpin yang di karuniakan Allah untuknya, ternyata dia harus menerima
kabar bahwa Chandra harus pergi meninggalkan dunia ini, sebelum sempat
mendengar kesediaan Vara menjadi istrinya. Vara benar-benar merasakan kesakitan
yang begitu mendalam, matanya menatap nanar nisan yang bertuliskan “Chandra
Anugrah” di hadapannya, air matanya tak henti berderai, ketika di saat
yang sama dia harus melihat Madina menangis dalam pelukan suaminya, Ezha, yang
dulu pernah mendiami hati Vara sekian lama.