“Ya ALLAH, Dzat yang Maha membolak
balikkan hati, hamba mohon petunjuk atas segala kegundahan hati ini.
Jika memang benar dia lah bidadari yang Kau kirim untuk melengkapi agama
hamba, maka persatukanlah kami dalam jalan-Mu. Hindarkanlah kami dari
pelanggarannya. Dan jika memang kami tak berjodoh, maka jauhkanlah.”
Ungkap Galih dalam ibadah malamnya kali ini.
***
Gadis itu bernama Gita, kalau dilihat dari segi parasnya mungkin
memang masih banyak wanita yang jauh lebih cantik dari dia. Tapi Galih
bukanlah tipikal orang yang menilai segalanya dari fisik. Kecerdasan
yang tampak dari rasa keingintahuan yang besar , budi pekerti yang baik
dan kesederhanaan dari diri Gita lah yang membuat lelaki berusia 24
tahun ini jatuh hati kepadanya. Galih telah mengenal Gita sejak 4 tahun
yang lalu, mereka dipertemukan dalam sebuah forum, Gita yang masih duduk
di bangku SMA mulai tertarik dengan materi yang disampaikan Galih.
Akhirnya merekapun sering berdiskusi dalam berbagi hal, mulai dari
agama, negara, pendidikan sampai pergaulan remaja. Semuanya berlalu
begitu saja, mereka yang pada awalnya sedikit canggung, lama kelamaan
semakin akrab, eittss akrab disini masih dalam jalur peraturan agama, dan segala hal yang menjurus pada pelanggaran.
Sampai pada akhirnya Galih mulai menyadari, ada suatu perasaan aneh yang
menghinggapi dirinya, kekaguman pada pribadi Gita kini telah menjelma
menjadi rasa suka. Rasa sayang yang dulu layaknya kakak kepada adiknya
kini berubah menjadi rasa sayang layaknya kepada seorang pacar. Inilah
yang membuat Galih bingung, 3 minggu terakhir ini pikirannya tak bisa
lepas dari sosok Gita.
“Assalamualaikum” sebuah suara membuyarkan lamunan Galih.
“Waalaikumsalam, eh mas Dhanu, masuk mas”. Jawab Galih seraya menutup pintu kamarnya, dan menghampiri tamunya pagi itu.
“Wah, ada apa ini, tumben pagi-pagi mampir ?” lanjut Galih.
“Gini Lih, insya Allah minggu ini aku
mau berta’aruf dengan seorang gadis, aku mau kamu juga ikut.Kamu kan
udah aku anggap saudara sendiri Lih. Bisa to?”
“Wah wah wah, berita bahagia ini, iya mas , insya Allah aku bisa. Semoga lancar dan barokah ya mas, ouh ya acaranya jam berapa?
“Sekitar jam 9 Lih. Yawdah, aku mau pamit dulu, harus segera ngajar soalnya.”
“Wah, kok buru-buru, gak sekalian sarapan dulu mas?”
“Wah lain kali aja Lih, makasih…” jawab Dhanu sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Oke-oke, pak dosen…” Galih tersenyum sambil menjabat tangan Dhanu erat.
Selepas Dhanu pergi, Galih mulai bersiap
menuju kantor. Sepanjang perjalanan, Galih mulai teringat akan
kelanjutan masa depannya, sebenarnya tahun ini merupakan targetnya untuk
segera menikah. “Yah, aku harus segera mengatakan isi hati ini kepada
dia, aku tak ingin semuanya terlambat” gumaman hati Galih.
***
Setelah melaksanakan sholat isya, Galih
masuk ke kamarnya. Dia memutuskan untuk menulis surat yang ditujukan
kepada Gita, dia berharap ini akan menjadi awal yang baik.
Assalamualaikum,
Tulisan
ini ku buka dengan Bismillah,
Karena
memang hanya kekuatan dari-Nya lah aku mampu merangkai kata dalam surat ini.
Allah
yang telah membawaku sampai sejauh ini, bertemu dengan banyak orang dan salah
satunya engkau. Semenjak pertemuanku denganmu 4 tahun yang lalu,membuatku
mengenalmu dan saat itu aku pun tak pernah tahu jika perasaanku akan berakhir
seperti ini.Sesungguhnya hanya inilah inti dari semuanya,
Maukah
kau membantuku?
Melengkapi
agamaku,
dan
mendampingiku melanjutkan jalan dakwah,
Aku
tak tahu apa tanggapanmu tentang semua ini, tapi aku yakin Allah akan
memberikan petujuk kepadamu untuk mengambil keputusan yang paling tepat.
Aku
tunggu jawabannya 2 hari lagi. Waktu yang pendek untuk istikharah.
Wassalamualaikum,
Galih
Al Maliki
Galih segera memasukka kertas yang telah
selesai ia tulisi ke dalam amplop putih dengan bingkai berwarna merah
biru, Galih berniat menitipkan surat ini kepada Aliya, teman Gita esok
hari.
“ Oke deh mas, ntar insya Allah langsung aku sampein ke Gita ya.”
“ Makasih ya, Al”
“Oke mas, sama-sama.”
“Yawdah aku pamit dulu ya Al, Assalamualaikum” ucap Galih kepada gadis berjibab hijau di depannya.
***
“Lih, Dhanu sudah datang lo, ndang cepet keluar to!”
“Inggih bu, sebentar” jawab Galih dari
dalam kamarnya. Semenit kemudian dia keluar dengan mengenakan hem
berwarna merah anggur,dilengkapi jam tangan hitam di tangan kirinya dan
menghampiri Dhanu yang tengah meneguk segelas teh anget yang di
suguhkan ibu galih.
“Wah mas, afwan ya harus nunggu lama.”
“Walah, ndak kok, aku juga baru datang.” Ujar Dhanu sambil meletakkan gelas ke meja di depannya.
“Lho kita dari sini cuma berdua to?” Tanya Galih.
“Nggak Lih, abis ni kita jemput Pak
Anton dan Pak Hadi dulu, beliau – beliau kan sebagai pelancarnya.
Sebenarnya hari ini agendanya adalah mendengar jawaban dari si dia Lih,
doain semoga dia bersedia ya…”
“Wah mas, insya Allah dia pasti mau jadi
istrinya mas Dhanu, siapa sih yang mau nolak lamaran lelaki yang udah
mapan, dan mubaligh seperti sampean to mas, ceweknya aja yang
keterlaluan kalau masih nolak juga.” Jelas Galih panjang lebar.
“Kamu itu bisa saja Lih, terlalu melebih – lebihkan, makanya kau harus segera nyusul juga, ” balas Dhanu.
“Hahaha , itu gampang mas, tinggal tunggu waktu yang tepat aja.”
Setelah itu keduanya meluncur ke tempat
pak Anton dan Pak Hadi berada. Seperempat jam kemudian Xenia hitam Dhanu
telah terparkir di depan rumah berwarna coklat susu, seorang bapak
berbaju batik keluar dari dalam rumah dan menyambut kedatangan mereka.
Segeralah mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu, ruangan berwarna
putih tulang ini cukup luas ada sebuah lemari kaca berisi berbagi macam
hadist tertata rapi berada di sudut, juga sebuah foto seorang pria,
nampaknya itu adalah foto bapak yang menyambut Galih tadi ketika masih
muda dan di sampingnya ada seorang wanita berjilbab putih yang sedang
memangku gadis kecil, disamping kiri wanita itu berdiri seorang anak
laki-laki berumur sekitar 10 tahun yang tengah tersenyum lebar,foto yang
di cetak 20R itu di bingkai pigora berwarna hitam tergantung manis di
dinding.
“Gimana kabarnya nak Dhanu? ” sapa bapak itu memulai pembicaraan.
“Alhmdulillah baik pak,” jawab Dhanu
singkat. Nampak sekali kecemasan dan kegugupan dari wajahnya,
sampai-sampai dia lupa menanyakan kabar calon mertuanya sendiri.
“Kelihatannya nak Dhanu ini sudah gak
sabar mendengar jawaban dari putri pak Amir” sahut pak Anton sambil
melirik ke arah Dhanu yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri,
yang menjadi objek hanya tersenyum kecut.
“Ya ya ya, saya mengerti, saya panggilkan dulu.” Lanjut pak Amir seraya bangkit dari tempat duduknya.
Semenit kemudian keluarlah dua orang
wanita, yang pertama seorang wanita berumur sekitar 40 tahunan
mengenakan gamis berwarna hijau tua, dan satu lagi seorang gadis berbaju
hijau dengan corak semanggi disertai bawahan rok putih berenda. Namun
ketika Galih melihat gadis itu, dia sangat terkejut, ternyata itu adalah
Gita. Galih tak habis pikir, dia bingung kenapa Gita bisa ada disini,
apa mungkin dia adik dari calon mas Dhanu, atau memang dia adalah calon
istri mas Dhanu???
“Nah, ini dia Gita.” Ujar pak Amir.
Gita segera duduk di kursi samping
ayahnya, yang tepat berhadapan dengan Galih. Gita pun tak kalah
kagetnya, setelah menyadari Galih berada tepat di depannya dia hanya
mampu menundukkan kepala. Kemunculan Galih membuatnya bimbang menerima
lamaran dari Dhanu, tak dapat dipungkiri Gita sebenarnya telah menaruh
hati kepada Galih sejak awal mereka bertemu. Selama 4 tahun juga, dia
berusaha memendamnya berharap Galih juga mempunyai perasaan yang sama.
Namun, sebulan yang lalu Gita mulai melepas harapannya, nampaknya dia
sudah mulai lelah berharap pada yang tak kunjung ada kepastiannya.
“Nah, langsung saja masuk ke dalam inti pertemuan pagi ini ya.” Pak Amir mulai membuka pembicaraan.
“Mengenai pernyataan nak Dhanu beberapa waktu yang lalu,Alhamdulillah jawaban dari putri saya Gita menerima lamaran nak Dhanu.”
Seluruh isi ruangan pun mengucap syukur,
termasuk Galih, walaupun sebenarnya dia sendiri tak tahu, apakah ia
benar-benar ikhlas mengucapkannya atau tidak. Yang pasti, saat ini dia
merasakan kecewa yang luar biasa, hatinya yang mulai merekah tiba-tiba
layu begitu saja. Dia hanya mampu terdiam, ingin rasanya segera keluar
dari rungan ini karena semakin lama dia merasa dadanya terasa sesak.
Menyaksikan gadis yang ia pinta kepada Tuhan tengan menerima pinangan
sahabatnya sendiri.
“Alhamdulillah” ucap syukur Dhanu yang
menghilangkan segala kegundahan hatinya. “Mmm, pak seperti yang pernah
saya utarakan sebelumnya, jika dik Gita menerima lamaran saya, maka saya
berharap pernikahan segera dilaksanakan, karena bulan depan saya harus
segera berangkat ke Malaysia untuk melnjutkan pendidikan S2, dan saya
ingin dik Gita turut menemani saya.” Lanjut Dhanu panjang lebar.
“Mengenai hal itu, kami sekeluarga telah
memusyawarahkan, dan kami setuju. Lalu menurut nak Dhanu kapan waktu
yang paling tepat?” jawab pak Amir.
“Bagaimana kalau bulan depan, Pak? Karena seminggu setelahnya saya harus telah memulai kuliah di Malaysia.”
“Wah sebenarnya bapak setuju saja, tapi gimana menurutmu, Nduk?” Tanya pak Amir pada putri bungsunya.
“Gita terserah ayah saja, yang terbaik menurut ayah.” Ucap Gita tetap dengan tertunduk.
“Alhamdulillah semoga lancar dan barokah.” Nah Dhanu sudah dapat calonnya, lha kamu kapan,Lih? Ucap pak Anton di selingi senyum.
“Kalau saya, belum dapat targetnya pak.
Insya Allah segera menyusul.” Jawab Galih singkat disertai sesungging
senyum paksaan di bibirnya.
***
Seusai pertemuan yang membahas masa
depannya Gita segera mengurung diri di kamarnya. Hatinya tak karuan,
dirinya telah menerima lamaran Dhanu, namun hatinya masih saja terikat
oleh bayangan Galih. “Ya Allah tolonglah hamba-Mu ini, jangan biarkan
terus seperti ini.” Ucapnya lirih. Akhirnya Gita teringat dengan surat
yang diberikan Alya kemarin, dia segera mengobrak-abrik isi tasnya, di
temukannya sepucuk surat yang tampilan depannya bertuliskan “untuk: Devrina Gita Rachma”.Seperti tulisan mas Galih, pikirnya.
Dengan tak sabar Gita mengeluarkan
kertas dari dalam amplop putih itu, sesaat kemudian air matanya mulai
mengalir. Hatinya serasa tercabik membaca kata demi kata yang ditulis
Galih untuknya. Penyesalan, kekecewaan, kesedihan, dan kepasrahan
bertumpuk membuat kepalanya terasa pening, “Kenapa harus sepert ini Ya
Allah” keluhnya dengan air mata terus bercucuran membasahi pipinya.
***
Setibanya di rumah, Galih segera
menunaikan sholat dhuhur, setelah itu dia membaringkan badannya diatas
kasur, mencoba memejamkan mata berharap kepenatannya akan berkurang.
Nyatanya malah kejadian di rumah Gita berputar kembali di batok
kepalanya, suatu kejadian yang tak pernah dia duga. “Astaghfirulloh,
jangan jadikan ini semua mengikis rasa cinta dan kepercayaanku pada-Mu
Ya Rabb.”
“Kring…kring…kring” Nampak nama Gita di layar HP nya, Galih sempat ragu mengangkatnya.
“Hallo Assalamualaikum,,”
“Wa’alaikumsalam. Mas galih sibuk? Tanya Gita dengan suara lirih.
“Wah, ndak kok Git, ada apa?” Galih mencoba mengatur suaranya seperti tak pernah terjadi apa-apa.
………………………………
Hening…
“Mmmm, andaikan Gita buka surat dari mas
Galih semenit saja sebelum mas Dhanu datang,mungkin semuanya akan
berbeda.”suaranya terdengar parau, menunjukkan pertahanannya menahan
tangis akan segera jebol.
Galih terdiam sesaat mendengar kata-kata
gadis yang mengganggu hatinya beberapa bulan ini, dia tak tahu harus
berkata apa. Beberapa waktu hanya terdengar isak tangis Gita, andaikan
dia tahu Galih juga merasakan apa yang ia rasakan, hatinya lebih teriris
menerima takdir ini.
“Semuanya, sudah ketentuan dari Allah.
Kita hanya manusia biasa hanya mampu berencana,tapi Allah yang
menentukan segalanya. Tak perlu lagi kita menyesai apa yang telah
terjadi, ini semua telah tertulis bertahun-tahun sebelum kita tercipta.”
Akhirnya Galih buka suara.
“Maafkan Gita mas, kenapa harus berakhir seperti ini? Apa Allah…
“Sssttt.. jangan pernah berburuk sangka
pada Allah, yakinlah ini semua pasti ada hikmahnya.Mas Dhanu lelaki yang
baik, berusahalah menjadi istri yang sholihah untuk dia. Mas Galih
yakin Gita sekarang jauh lebih dewasa, dan pasti bisa menerima ini
dengan lebih bijak.” Hatinya terasa berat mengatakan ini. “Kuatkan
hatimu untuk menerima ini, rencana Allahlah yang paling terbaik bagi
kita.”lanjutnya.
Seusai sambungan telepon terputus, Gita
tertidur dengan air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya. Dia
memilih pergi ke alam mimpi, karena hanya dengan tidur beban yang
membuatnya lelah dapat sejenak menghilang. Di sisi lain, Galih hanya
mampu menahan luka dan air mata di relung kalbunya, dia hanya ingin
membaginya dengan Sang Khalik, bahkan dengan angin yang sedang berhembus
menerpa wajah tampannya pun tidak, bibirnya terkunci rapat mencoba
menguatkan pilar-pilar hatinya yang runtuh karena Gita.